Ini tulisan reflektif bagaimana Saya bangkit dari kesedihan mendalam setelah Ibunda saya berpulang. Saya juga memberi hal penting bagaimana cara mengatasi kesedihan karena ditinggal meninggal dan menjadi kerelaan. Simak yuk!
100 hari berlalu Mamah berpulang. 100 hari pula upaya saya mengeneralisir emosi yang bergejolak.
Jelas tidak mudah bilang bahwa semua 'baik-baik saja' , istilahnya kalau ditinggal orang tersayang itu sedihnya gak ketulungan. Rasanya sedih sekali.
Tapi saya putuskan untuk tidak dikekang kesedihan karna sadar betul bahwa 'diri-lah' yang seharusnya mengkonfigurasi kesedihan. Duh, ternyata sulit sekali.
Betul, saya sering menangis beberapa bulan ini. Mengatur kesedihan bukan berarti mengekang ekspresinya.
Sering saya menangis secara random; melihat sink kotor saja menangis karna ingat Almarhumah yang sukahati membersihkan sink di rumah saya setiap kali berkunjung atau melihat banyak hal yang berkaitan dengan beliau dulu, seperti; teh, termos, kain gendongan biasa beliau menggendong cucu-cucunya, ah masih banyak.
Lalu bagaimana cara mengedalikan kesedihan yang gak ketulungan ini?
Jujur saja... babak belur.
Saya sempat menghindari selftalk karena selalu berujung dengan kelukaan, hanya mampu menghalaunya dengan dzikir. Saya hanya sibukkan pikiran dan perasaan ini dengan dzikir dan doa.
Saya menghindari aktivitas melamun dan sendirian sehingga lebih disibukan dengan aktivitas.
Kadang saya bertanya : apa iya saya sudah membaik? Mengingat sebagai muslim harus senantiasa merelakan dan meridhoi ketentuan-Nya. Hanya saja ini persoalan emosi yang dirasakan menghadapi kenyataan.
Pikiran saya selama ini masih berkaitan dengan penyesalan, kerinduan, kekecewaan, dan rasanya terlampau besar hingga tak mampu dihalau. Kata orang memang butuh waktu. Prosesnya memakan waktu tidak sebentar.
Sampai akhirnya saya mulai untuk mencari hal positif dalam persoalan ini secara pelan pelan.
Saya menyelami kenangan kenangan bersama Almarhumah (kejer pastinya) seperti memasuki rangkaian kenangan kenangan dalam dimensi lain.
Laa haula walaaa quwwata Illa billahil aliyyiladziim'.
Saya minta kekuatan kepada Allah agar bisa menjajakinya. Maka mulailah saya merapikan kenangan kenangan positif dengan beliau ditata rapi dalam benak seperti menyusun buku didalam rak.
Muncullah beberapa kata terangkai; mamah adalah ibu yang baik, istri yang baik, nenek yang luarbiasa penyayang, anak yang solehah yang senantiasa mendoakan orangtuanya, mamah gigih pada kemauannya, kalimatnya beruntun menjadi komposisi selftalk saya.
Tanpa terduga, pelan pelan sebuah refleksi terbentuk seperti ini:
"Mamah hidup 54 tahun, peranannya sebagai anak, saudara, teman, istri, ibu dan nenek yang terbilang berhasil di dunia. Spekulasi seperti biasanya tercermin bagaimana cara mereka meninggal dan efek kepergiannya secara sosial sangat positif.
Bagi saya, meninggalnya beliau adalah entropi karena kasih sayang Allah, hamba yang dipisahkan dari penderitaan dunia serta disambut mesra untuk hidup bersama Allah di alam abadi. Aduh... Siapa dan apa yang bisa mengalahkan kelezatan kebersamaan dengan Allah Swt?
Detik itu hingga hari ini saya merasa tidak perlu lagi bersedih. Rasanya ringan sekali di hati; fokus saya tidak lagi 'kesedihan' tapi... Apa ya? Apakah tepat disebut dengan persiapan, saya kira begitu tapi entahlah.
Disebut persiapan karena menoyor kesadaran besar; apa bisa saya selulus mamah menuntaskan peran di dunia ini? Mamah sudah sangat cukup mengajari kami menjalani hidup untuk lebih sering membaca Alquran, beribadah, tawakal dan bersungguh sungguh mendidik anak.
Selebihnya... Apa iya saya, kamu dan siapapun bisa lulus menuntaskan peran di kehidupan ini dengan khusnul khatimah?
Wallahu a'lam... Tulisan ini (bisa dikatakan) mengalir begitu saja dalam perenungan. Salah satu proses pemulihan; bagaimana harus membaik dari 'kesedihan'. Saya merasa harus menuliskannya dan membagikannya.
Semoga kamu pun terbantu, terlebih bagi siapa dan dimana saja yang sedang berduka ditinggalkan meninggal orang tersayang.
***
Tulisan ini proses pemulihan. Proses pemulihan ini tidak terjadi dalam waktu singkat, ada support system yang membantu sekaligus saya syukuri. Suami, keluarga dan komunitas; Jika saja tidak ikut kelas 'Renovasi Relasi' di @heiacademy mungkin saya masih jauh lebih lama menjalani prosesnya.
Mentor saya Kang @zeinpermana mengenalkan esensi relasi dan entropi di pertemuan kedua, moment yang tepat atas izin Allah Swt. Oh ya, termasuk buku 'Psikologi Kematian' yang ditulis Pak Komaruddin Hidayat turut membantu saya membaik. Terima kasih.